Praktik riba sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut. Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan (Syihab, 1996).
Begitu juga pada saat ini, ketika riba sudah dianggap sesuatu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ironi yang cukup mencengangkan sebagaimana dipaparkan Hadi S. Alikodra (Republika 28/8/01) adalah kenyataan bahwa IMF (International Monetary Fund) yang secara eksplisit mencanangkan perang terhadap penebangan hutan secara liar (deforestasi), ternyata dalam LOL (Letter of Intent) 1998 justru mendesak Indonesia untuk membuka ekspor kayu log (utuh). IMF telah berjanji untuk menghambat laju deforestasi di Indonesia dengan menetapkan 12 komitmen, yang sekaligus berlaku sebagai syarat bagi kucuran dana mereka ke Indonesia. Komitmen itu secara umum merupakan tuntutan agar terjadi proses pencegahan terhadap laju deforestasi. Kenyataannya komitmen ini kontradiktif. Desakan agar Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk utuh, artinya sama dengan desakan agar Indonesia membuang uang sebesar 4 miliar dollar AS per tahun. Sementara kita mengemis pada IMF untuk hutang yang hanya 400 juta dollar AS, pada saat yang sama kita manut saja menghanguskan uang Negara sebesar 4 miliar dollar AS per tahun dari deforestasi yang dipicu oleh ekspor log itu. Ditambah lagi kerugian Negara berupa kerusakan ekosistem hutan yang bisa menjadi sebab kerugian yang lebih besar. Karenanya dalam jangka panjang perlu ditinjau kembali kerangka berpikir tentang bunga dan hutang kepada lembaga keuangan asing semacam IMF. Karena bisa jadi, dengan berhutang ternyata kita bukannya “untung”, tetapi malah “buntung”; terutama dalam prespektif jangka panjang (Mulyanto, 2003).
Dalam posting ini akan dibahas kelemahan sistim yang selama ini berlaku dalam kehidupan manusia. Yaitu sistim ribawi yang dari segi ekonomi islam, sains maupun dari segi dalil Al Quran merupakan sistim yang tidak sesuai dengan nash.
Sistim Perekonomian Ribawi
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam (Wikipedia, 2009).
Majelis Ulama Indonesia dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (inerest/fa’idah), memutuskan tentang pengertian bunga sebagai berikut (Fatwa MUI, 2004) :
a) Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
b) Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Dalam pembahasan landasan teori mengenai riba, perlu diketahui tentang macam-macam riba, berikut menurut Muchammad (2009), riba itu dibagi menjadi 4 macam yaitu :
a) Riba Fadhl, Yaitu penukaran dua barang yang sejenis dengan tidak sama (lebih) misalnya: menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras (menjual beras dengan beras yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda). Rosulullah SAW bersabda “emas dengan emas lagi sama jenisnya dan timbangannya perak dengan perak lagi yang sama jenis dan timbangannya. Barang siapa yang manambah atau minta tambahan hal itu adalah riba” (HR.Muslim).
b) Riba Gordh, yaitu pinjam meminjam atau berutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti meminjam uang dengan sangat tinggi (berlipat ganda).
c) Riba Jahiliyah, yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
d) Riba Nasiah, Riba nasiah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya.
Hukum Termodinamika dalam Konsep Entropi
Hukum petama termodinamika menyatakan bahwa jumlah total energi sebuah sistim termodinamika selalu tetap, meskipun energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk energi yang lain. Ini prinsip konservasi energi. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa panas tidak akan pernah secara spontan berpindah dari benda yang bersuhu rendah ke benda yang bersuhu tinggi. Kedua hukum termodinamika ini jika digabungkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sepanjang waktu sebuah sistim tertutup memiliki jumlah energi yang tetap, dan distribusi energi ini semakin merata di seluruh bagian sistim (Mulyanto, 2003).
Hukum kedua termodinamika dalam konsep entropi mengatakan, "Sebuah proses alami yang bermula di dalam satu keadaan kesetimbangan dan berakhir di dalam satu keadaan kesetimbangan lain akan bergerak di dalam arah yang menyebabkan entropi dari sistem dan lingkungannya semakin besar". Jika entropi diasosiasikan dengan kekacauan maka pernyataan hukum kedua termodinamika di dalam proses-proses alami cenderung bertambah ekivalen dengan menyatakan, kekacauan dari sistem dan lingkungan cenderung semakin besar (Halliday-Resnick, 1990).
Secara singkat inilah yang disebut proses entropi, menurut Dr. mulyanto (2003) :
Seiring dengan berjalannya waktu, suatu sistim tertutup memiliki energi total yang konstan, namun distribusinya semakin merata, dan tingkat keteraturannya semakin rendah.
Sifat Entropi digunakan untuk menunjukkan derajat ketidakteraturan molekul dalam menduduki berbagai konfigurasi energinya.
Entropi alam semesta semakin meningkat, makin tak teratur.
Kelemahan Sistim Perbankan Syariah
Solusi yang telah ditawarkan menghadapi sistim perbankan ribawi adalah berdirinya bank-bank berlabel syariah. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Sayangnya, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
a) Kesalahan pertama, adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada dan elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
b) Kedua, masyarakat sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, yang sulit dijangkau kaum grass root. Seharusnya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
c) Ketiga, sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
d) Keempat, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
e) Kelima sikap lembaga keuangan yang ada memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
f) Keenam, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal (Aufa, 2008).
Hutang dan Deforestasi
Seperti telah dibahas mengenai entropi pada bahasan sebelumnya, sistim ekonomi berbasis bunga bertentangan dengan hukum ala mini. Uang yang disimpan di bank dapat meningkat jumlahnya menuju tak berhingga. Sementara asset fisik akan meluruh menuju “nol” sesuai dengan hukum entropi. Sebagai contoh mudah adalah peminjaman roti. Kalau seseorang meminjamkan 100 iris roti pada tahun 20 M dan sepakat dengan bunga 5%, maka dalam sistim bunga-berbunga (compound interest), setelah 2 tahun (tahun 22M) dia harus membayar sejumlah 110,25 iris roti. Bisa dibayangakan jumlah iris roti yang harus dibayar pada tahun 1995. Sehingga jumlahnya adalah F=100(1+0,005)1975 = 7x1024 iris roti. Jumlah yang sangat fantastis. Tidak akan ada yang mampu membayarnya, bahkan jika setiap orang yang hidup di bumi berhasil menyimpan roti sebanyak 10 juta iris setiap hari selama hidupnya. Padahal realitasnya, roti pasti membusuk setelah beberapa hari. Fenomena yang ganjil karena matematika yang digunakan berbeda dengan realitas fisik kehidupan. Roti membusuk, sementara uang tidak. Roti bekerja mengikuti hukum alamiah entropi, sementara uang tidak.
Dari sinilah bisa diprediksi bahwa penipisan jumlah SDA berkaitan secara eksplisit dengan pembayaran bunga atas hutang internasional. Brazil, Meksiko, dan Indonesia adalah Negara-negara penghutang terbesar di dunia. Nilai hutang itu berhubungan dengan tingkat deforestasi Indonesia yang 1,6 juta Ha/tahun selama 10 tahun terakhir (Renstra Dephunbun, 2000). Dengan prinsip ribawi seperti ini, yang kemudian akan merebak adalah semangat menggebu untuk mengubah kekayaan menjadi hutang sebanyak mungkin agar dapat mengambil keuntungan masa depan darinya. Sebab kekayaan meluruh bersama waktu. Sementara hutang tetap, tidak berkurang, tidak perlu biaya untuk pemeliharaannya, bahkan memberi bunga terus menerus. Dan berdasar prinsip finansial modern ribawi ini, Negara maju akan terus menerus memberikan hutang kepada Negara-negara berkembang. Sebagai akibat hutang dan sistim bunga ini, hutan akan semakin gundul, apalagi jika disyaratkan ekspor log dalam hutang tersebut (Mulyanto, 2003).
Dalam hal utang luar negeri yang harus dibayar, Brazil, Mexico dan Indonesia mencapai tiga besar. Pada tabel 4.1 berikut akan terlihat daftar deforestasi. Terlihat dalam tabel tersebut bahwa penipisan jumlah sumber daya alam berkaitan secara eksplisit dengan pembayaran bunga atas hutang internasional.
Tabel 4.1 Deforestasi dan Hutang Luar Negeri
Negara Rata-rata deforestasi pertahun 1981-1990 (km2) Hutang luar per PDB tahun 1992 Pembayaran hutang per ekspor tahun 1992
Brazil 36,710 31,3 24,4
Indonesia 12,120 67,4 32,1
Zaire 7,320 111,5 34,8
Mexico 6,780 35,2 44,4
Bolivia 6,250 83,6 39,1
Venezuela 5,990 62,5 19,5
Thailand 5,150 36,3 13,1
Sudan 4,820 220,7 n/a
Tanzania 4,380 268,4 32,5
Bunga dan Argumentasi Entropi
Kehidupan yang berstruktur mempertahankan dirinya dengan mengkonsumsi energi berentropi rendah dan mengubahnya menjadi berentropi lebih tinggi plus kenikmatan hidup. Sebagai contoh, tumbuhan menyerap energi dari mineral dalam tanah, yang berentropi rendah, untuk menghasilkan daun segar atau buah. Kemudian kita makan sayuran dan buah-buahan dengan entropi lebih tinggi sebagai sumber energi. Ini berjalan secara alamiah, dan inilah yang dimaksud pembangunan berkelanjutan. Bila prinsip ini terganggu, misalnya manusia menggali tambang secara semena-mena maka tanah akan rusak, tak ada tanaman yang bisa tumbuh di sana maka akhirnya rusaklah lingkungan dan manusia menderita. Karenanya bila kegiatan ekonomi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan selalu terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan.Dalam sebuah sistim ekonomi barter yang sederhana, individu akan menyimpan kelebihan kekayaannya dalam bentuk aset fisik. Untuk penyimpanannya akan ada pengeluaran biaya penyimpanan. Biaya lainnya juga mungkin ada, karena dengan berjalannya waktu, kualitas aset yang disimpan akan mengalami kenaikan entropi melalui peluruhan. Jadi bergantung pada sifat aset, siapapun yang menyimpan kekayaan akan mengeluarkan biaya.
Kaitan antara prinsip itu dengan sistim ribawi dan perbankan adalah bahwa sistim ekonomi berbasis bunga bertentangan dengan hukum alam entropi ini. Dalam ekonomi modern berbasis bunga, uang 100 rupiah yang dipinjam harus dikembalikan dalam bentuk uang 100 rupiah ditambah dengan bunga. Dalam sistim seperti ini, kita pada dasarnya mengatakan bahwa kerbau yang memiliki umur dan kesehatan yang sama harus dikembalikan sekaligus dengan bunganya. Salah satu ciri utama dari sistim ini adalah bahwa si peminjam kerbau memberikan kepada pemilik kerbau biaya yang sebenarnya harus ditanggung sendiri. Uang 100 rupiah yang dipinjamkan dengan bunga tidak sama dengan peminjaman aset fisik senilai 100 rupiah. Dalam sistim bunga-berbunga, nilai uang akan terus berkembang menurut deret geometri menuju tak berhingga. Sebaliknya, karena peningkatan entropi maka kekayaan fisik mengikuti penurunan terus menerus, tetapi tidak pernah mencapai nol (Mulyanto, 2003).
Soddy berkomentar dalam Money Versus Man (1993) :
”..keinginan yang menggebu-gebu saat ini adalah mengubah kekayaan menjadi hutang untuk mengambil keuntungan masa depan darinya, mengubah kekayaan yang berkutang nilainya menjadi hutang yang tetap nilainya, hutang tidak berkurang, bebas biaya dalam memeliharanya dan memberi bunga terus-menerus.”
Gambar 4.1 Hubungan Antara Hukum Alam dan Teori Finansial Modern
4.3. Larangan Riba dalam Nash Alquran
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Al-Quran menjawab pertanyaan kaum musyrik dengan menyatakan :
• ……..
"Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Islam tidak menghalalkan segalanya dalam perdagangan. Islam memberikan panduan aturan yang juga jelas dalam jual beli, perdagangan atau bisnis. Islam ingin menghilangkan bukan saja ketidakadilan yang melekat dalam pranata bunga atas pinjaman (utang-piutang), tetapi juga yang terdapat dalam semua bentuk pertukaran (jual beli) yang tidak jujur dan tidak adil di dalam transaksi bisnis. Segala sesuatu tambahan (keuntungan) yang diterima dengan tanpa dapat dibenarkan oleh salah satu pihak dalam suatu transaksi perdagangan disebut riba al-fadl. Keuntungan yang dibenarkan dijelaskan Ibnu al ‘Arabi dalam Ahkam Al-Qur’an sebagai “semua kelebihan atas apa yang dapat dibenarkan oleh nilai yang setara (iwadh)”. Apabila tambahan tersebut melebihi nilai yang setara (iwadh) dapat masuk dalam kategori riba al-fadl yang tidak dibenarkan secara Syari’ah.
Pengharaman riba al-fadl dimaksudkan untuk memastikan keadilan, untuk menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran atau jual beli yang tidak adil, dan menutup semua pintu bagi riba. Karena menurut kaidah fiqih Islam yang diterima secara luas, bahwa segala sesuatu yang berfungsi sebagai sarana atas sesuatu yang haram juga menjadi haram karenanya.
Potensi luasnya praktik riba al-fadl merupakan tantangan besar bagi seluruh kaum muslimin untuk mencermati praktek-praktek ekonomi mereka secara terus menerus agar senantias berdasarkan ajaran Islam dan berusaha keras untuk menghilangkan semua bentuk ketidakadilan. Tugas ini tentunya jauh lebih sulit daripada menghilangkan riba al-nasi’ah (bunga bank). Dan memerlukan komitmen total dan restrukturisasi keseluruhan praktik bisnis dan perekonomian masyarakat muslim agar sesuai kerangka nilai Islam. Konsep riba al-fadl yang diperkenalkan oleh Islam mencerminkan prinsip Islam yang teguh terhadap upaya perwujudan keadilan sosial-ekonomi. Hal ini telah menjadi kontribusi unik dari Islam (Setiawan, 2007).
Syara’ telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnya jelas-jelas haram. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui (An Nabhani, 1996).
Membangun Sistim Ekonomi Alternatif Perspektif Islam
Ada tiga sistem ekonomi yang ada di muka bumi ini yaitu Kapitalis, sosialis dan Mix Economic. Tidak ada diantara sistem ekonomi yang ada secara penuh berhasil diterapkan dalam perekonomian di banyak negara. Sistem ekonomi sosialis atau komando hancur dengan bubarnya Uni Soviet. Kemudian sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya. Sistim ribawi berangkat dari ekonomi kapitalis ini (Amir, 2008).
Dengan berasaskan hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaiman agar manusia dapat memanfaatkan kekayaan yang ada. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas segalanya secara komprehensif tentang bagaimana cara memperoleh kekayaan, mengelola, dan mendistribusikan secara merata. Kesmuanya harus berpedoman Alquran dan Assunnah. Dan tentunya terbebas dari muatan ekonomi kapitalis, maupun ribawi.
Kaidah perekonomian dalam Islam ada tiga : Kepemilikan (Property), tasharruf (pengelolaan) kepemilikan, serta distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Kepemilikan sendiri pada dasarnya merupakan milik Allah. Allah hanya menyerahkan kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab kepemilikan tertentu yang tidak bertentangan dengan satupun nash baik Alquran maupun Assunnah. Adapun pengelolaan kepemilikan yangberhubungan dengan umum adalah hak Negara. Kepemilikan individu (private property) hukumnya telah diatur dalam banyak nash, termasuk didalamnya hukum-hukum muamalah, jual-beli, pegadaian, larangan riba, penimbunan dan sebagainya. Adapun mengenai distribusi kekayaan dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi yang wajar. Syara’ juga melarang pendistribusian kekayaan hanya diantara orang-orang kaya seperti dalam sistim kapitalisme. Perputaran tersebut harus terjadi di antara semua orang (An Nabhani, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar